BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak-anak
berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam
jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada
umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian
layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang
menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun
apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan
layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Pada
bagian unit ini saudara akan mengkaji beberapa prinsip layanan pendidikan untuk
anak berkebutuhan khusus, yang dilangkapi dengan beberapa ilustrasi yang akan
memudahkan saudara untuk mengkajinya. Selain itu juga akan disampaikan
pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus.
Fasilitas pembelajaran juga akan menjadi salah satu bahan kajian pada unit ini
untuk mendukukung layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Untuk memperdalam kajian saudara dalam unit
ini, saudara juga diminta untuk mengerjakan latihan-latihan yang disediakan.
Dengan demikian usai mengikuti kajian ini saudara akan memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa saja prinsip-prinsip layanan anak berkebutuhan
khusus ?
1.2.2 Apa saja pendeketan layanan anak
berkebutuhan Khusus ?
1.2.3 Apa saja fasilitas anak berkebutuhan khusus
1.3
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Untuk
mengetahui prinsip-prinsip layanan ABK
1.3.2 Untuk
mengetahui pendekatan setiap ABK
1.3.3 Untuk
mengetahui fasilitas setiap ABK
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PRINSIP-PRINSIP LAYANAN PENDIDIKAN BAGI
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Ilustrasi
1 :
Ani anak tunanetra, ia bersama temannya
sesama tunanetra belajar di sekolah luar biasa. Ia saling membantu dalam
menggunakan reglet untuk menyalin apa yang diceriterakan oleh gurunya. Gurunya
dengan sabar mendekati mereka satu persatu sampai ia yakin mampu menyalin
dengan benar. Sementara Ida, juga tunanetra. Ida belajar bersama temannya anak
awas di SMA. Ida, dibacakan teks oleh temannya, dan direkam dalam kaset. Pada
suatu waktu, Ida mempunyai problem untuk memahami simbol kimia. Guru Kimia,
dengan sabar berkonsultasi dengan guru pembimbing khusus tentang penulisan
braille untuk simbol kimia yang dipermaslahkan. Akhirnya dengan bimbingan guru
pembimbing khusus, Ida dapat memahami simbol-simbol kimia.
Ilustrasi
2
Iwan, anak tunarungu berat. Ia belajar
di kelas khusus dengan menggunakan komunikasi total. Beberapa saat kadang guru
mengajarkan bunyi kepada Iwan dengan berhadapan dan menempelkan punggung
tangannya ke leher guru untuk ikut merasakan suara yang diucapkan oleh guru,
dan Iwan diminta mengucapkan dengan merasakan getaran tangan yang ditempelkan
ke lehernya. Dengan pelan-pelan akhirnya Iwan dapat menirukan bunyi yang
diucapkan oleh guru walaupun tidak sempurna.
Ilustrasi
3
Yoyok, anak tunadaksa yang menggunakan
kursi roda. Bersama teman yang lain ia belajar di kelas. Sesekali ia disuruh
guru untuk mengerjakan soal di depan dengan menggunakan kursi rodanya. Yoyok
tampak lincah, dan temannya sesama cacat saling memberikan bantuan dan saling
mendukung.
Berdasarkan
illustrasi tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa variasinya anak
berkebutuhan khusus dalam memperoleh layanan pendidikan. Untuk itu ada beberapa
prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada
umumnya yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar
tersebut menurut Musjafak Assjari (1995) adalah sebagai berikut:
1.
Keseluruhan anak (all the children)
Layanan pendidikan
pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada pemberian kesempatan bagi
seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajad, ragam, dan bentuk
kecacatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak dapat mengembangkan
potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia dapat mencapai hidup
bahagia sesuai dengan kecacatannya. Konsekuensi dari ini, guru seyogyanya
bersifat kreatif. Guru dituntut mencari berbagai pendekatan pembelajaran yang
cocok bagi anak . Pendekatan tersebut disesuaikan dengan keunikan dan
karakteristik dari masing-masing kecatatan.
2.
Kenyataan (reality)
Pengungkapan tentang
kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak berkebutuhan khusus
mutlak untuk dilakukan. Hal ini penting, mengingat malalui tahapan tersebut
pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan
yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan
khusus. Dasar pendidikan yang menempatkan pada kemampuan masing-masing anak
tunadaksa inilah yang dimaknai sebagai dasar yang berlandaskan pada kenyataan
(reality)
3. Program yang dinamis (a dynamic program)
Pendidikan pada
dasarnya bersifat dinamis. Pendidikan dikatakan dinamis karena yang menjadi
subjek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang, yang di
dalamnya terdapat proses yang bergradasi, berkesinambungan untuk mencapai
sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan terjadi karena subjek
didiknya selalu berkembang, sehingga penyesuaian layanan harus memperhatikan
akan perkembangan yang terjadi pada subjek didik. Dinamika dapat pula terjadi
pada perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua kenyataan ini menuntut guru untuk
mengkaji teori-teori pendidikan yang berkembang setiap saat. Memperhatikan
kedua dinamika tersebut layanan pendidikan seharusnya memperhatikan
karakteristik yang cukup heterogen pada anak dengan segala dinamikanya.
4. Kesempatan yang sama (equality of
opportunity)
Pada dasarnya anak
berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan
potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecacatan yang dialaminya. Titik
perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan khusus adalah
optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melalui jenjang pendidikan
yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan sarana dan
prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan yang sama
dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan prasarana
pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kecacatannya.
5. Kerjasama (cooperative)
Pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil mengembangkan potensi mereka
mana kala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Beberapa pihak yang
terkait yang paling utama adalah orangtua. Orangtua anak berkebutuhan khusus
perlu dilibatkan dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan.
Selain orangtua, pihak lain yang terkait adalah dokter, psikolog, psikhiater,
pekerja sosial, ahli terapi okupasi, dan ahli fisioterapi, konselor, dan tokoh
masyarakat utamanya mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan anak.
Selain kelima prinsip
tersebut di atas, ada prinsip lain yang juga perlu diperhatikan dalam
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1)
Prinsip kasih sayang
Sebagai manusia, anak
berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan bukan belas kasihan. Kasih
sayang yang dimaksudkan merupakan wujud penghargaan bahwa sebagai manusia
mereka memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan diakui bahwa mereka
adalah sama seperti anak-anak yang lainnya. Perubahan lingkungan dari
lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang ke lingkungan sekolah pada awal
anak masuk sekolah merupakan peristiwa yang menentukan bagi perkembangan anak
selanjutnya.
2)
Prinsip keperagaan
Anak berkebutuhan
khusus ada yang memiliki kecerdasan di bawah jauh rata-rata. Keadaan ini
berakibat anak mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, ia memiliki
keterbatasan daya tangkap pada hal-hal yang konkret, ia mengalami kesulitan
dalam menangkap hal-hal yang abstrak. Untuk itu, guru dalam membelajarkan anak
hendaknya menggunakan alat peraga yang memadai agar anak terbantu dalam
menangkap pesan. Alat-alat peraga hendaknya disesuaikan dengan bahan, suasana,
dan perkembangan anak.
3)
Kemampuan anak
Heteroginitas mewarnai
kelas-kelas pendidikan pada anak berkebutuhan khusus, akibatnya masing-masing
subjek didik perlu memperoleh perhatian dan layanan yang sesuai dengan
kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud meliputi keunggulan-keunggulan apa yang
ada pada diri anak, dan juga aspek kelemahan-kelemahannya. Proses pendidikan
yang berdasar pada kemampuan anak akan lebih terarah ketimbang yang berdasar
bukan pada kemampuan anak, seperti keinginan orangtua atau tuntutan paket
kurikulum. Orangtua memang memiliki anaknya, tetapi seringkali terjadi orangtua
kurang dan tidak mengetahui kemampuan anaknya. Mereka menganggap sama pada semua
anaknya.
Oleh karena itu,
sebelum dan selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan dalam proses
pendidikan anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya dapat diikutinya.
Selain itu, guru n harus mampu menterjemahkan tuntutan kurikulum terhadap heteroginitas
kemampuan masing-masing subjek didik.
4)
Pembiasaan
Penanaman pembiasaan
pada anak normal lebih mudah bila dibarengi dengan informasi pendukungnya. Hal
ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan khusus. Pembiasaan bagi anak
berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang lebih konkret dan
berulang-ulang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera yang dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang lambat. Untuk itu,
pembiasaan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakuakn secara berulang-ulang
dan diringi dengan contoh yang konkret.
5)
Latihan
Latihan merupakan cara
yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Latihan
sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan pembiasaan. Porsi latihan yang diberikan
kepada anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya.
Pemahaman akan kemampuan anak dalam memberikan latihan pada diri subjek didik
akan membantu penguasaan keterampilan yang telah dirancangkan lebih dahulu.
Latihan yang diberikan tidak melebihi kemampuan anak, sehingga anak senang
melakukan kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengelola pendidikan.
6)
Pengulangan
Karakteristik umum
anak berkebutuhan khusus adalah mudah lupa. Oleh karena itu, pengulangan dalam
memberikan informasi perlu memperoleh perhatian tersendiri. Pengulangan
diperlukan untuk memperjelas informasi dan kegiatan yang harus dilakukan anak.
Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi kenyataan mereka memerlukan demi
penguasaan suatu informasi yang utuh.
7)
Penguatan
Penguatan atau reinforcement merupakan
tuntutan untuk membentuk perilaku pada anak. Pemberian penguatan yang tepat
berupa pujian, atau penghargaan yang lain terhadap munculnya perilaku yang
dikehendaki pada anak akan membantu terbentuknya perilaku. Pujian yang
diberikan padanya akan memiliki arti tersendiri dalam pencapaian usaha
keberhasilan. Secara psikologis akan memberikan penghargaan pada diri subjek
didik, bahwa dirinya mampu berbuat. Penghargaan ini akan memberikan motivasi
pada diri mereka. Bila ini terjadi, anak akan berusaha untuk menampilkan
prestasi lain.
B. PENDEKATAN
LAYANAN PENDIDIKAN
Secara umum, dikenal
adanya dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu
(1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan
kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan
biaya. Dari segi waktu, tentunya tidak harus menyediakan waktu khusus bagi
setiap individu siswa, demikian pula untuk tenaga dan biaya.
Sedang kelemahananya
berkenanaan dengan efektifitas pembelajaran, yang sudah barang tentu kurang
efektif untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam pencapaian tujuan
kompetensinya. Lain halnya dengan pendekatan individual, pencapaian kompetensi
yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi
dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, guru juga akan mudah memantau
perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, serta memberikan bantuan yang
dibutuhkan.
Selain pendekatan
individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan ada pendekatan lain
yang berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan
remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan
untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang
ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada
anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub
kompetensi yang belum dicapai oleh anak. Melalui pendekatan remidial anak
dilatih dan didorong secara indivudal untuk nmenutup kekurangan yang ada pada
dirinya dengan memperhatikan kemampuan yang ia miliki.
Pada pendekatan
akseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan khusus, utamanya anak
berbakat untuk lebih lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar
assesmen kemampuan anak. Pendekatan akselerasi juga lebih bersifat individual.
1.
Anak
Berkelainan Fisik
Anak-anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan fisik, yang dalam konteks ini meliputi, anak
tunanetra, anak tunarungu, dan anak tunadaksa membutuhkan layanan pendidikan
dengan pendekatan dan strategi khusus, yang secara umum dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1)
Anak
Tunanetra
Annastasia Widjajanti
dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak
tunanetra meliputi:
a.
Penguasaan braille.
Penguasaan braille yang dimaksud adalah
kemampuan untuk menulis dan membaca braille. Keterampilan menulis berkaitan
dengan penggunaan alat tulis braille, yaitu reglet, mesik ketik braille;
penulisan huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer braille,
sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari berbagai
media tulisan.
b.
Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah
jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan
menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu
penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan WC, di kamar makan, di kamar
tidur, di dapur,di kamar tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang
lain.
c.
Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan
matematika
Meliputi cubaritma, papan taylor frame,
abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian,
dan beberapa komsep matematikan braille.
d.
Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tunanetra.
Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak
tuna netra menggunakan pendidikan jasmani adaftif. Adaftasi yang dilakukan
berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi
sarana dan prasarana olah raga meliputi
ukuran lapangan/lintasan, alat yang digunakan dalam olah raga, dan aturan yang
dipakai.
2)
Anak
Tunarungu
Layanan pendidikan
yang spesifik bagi anak tuna rungu adalah terletak pada pengembangan persepsi
bunyi dan komunikasi. Hallahan dan Kauffman, (1988) menyatakan bahwa ada tiga
pendekatan umum dalam mengajarkan komunikasi anak tunarungu, yaitu: Ada
beberapa cara dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
a.
Metode oral,
yaitu cara melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi
secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Dalam hal ini perlu
partisipasi lingkungan anak tunarungu untuk berbahasa secara verbal. Dalam hal
ini Van Uden, menyarankan diterapkannya prinsip cybernetik, yaitu prinsip yang
menekankan perlunya suatu pengontrolan diri. Setiap organ gerak bicara yang
menimbulkan bunyi , dirasakan dan diamati sehingga hal itu akan memberikan
umpan balik terhadap gerakannya yang akan menimbulkan bunyi selanjutnya.
b. Membaca
ujaran.
Dalam dunia pendidikan membaca ujaran sering disebut juga
dengan membaca bibir (lip reading). Membaca ujaran yaitu suatu kegiatan yang
mencakup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara sewaktu
dalam proses bicara. Membaca ujaran mencakup pengertian atau pemberian makna
pada apa yang diucapkan lawan bicara di mana ekspresi muka dan pengetahuan
bahasa turut berperan.
Ada beberapa kelemahan dalam menerapkan membaca ujaran,
yaitu (1) tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada bibir, (2) ada persamaan
antara berbagai bentuk bunyi bahasa, misalnya bahasa bilabial (p,b,m), dental
(t,d,n) akan terlihat mempunyai bentuk yang sama pada bibir, (3) lawan bicara
harus berhadapan dan tidak terlalu jauh, (4) pengucapan harus pelan dan lugas.
c. Metode
manual.
Metode manual yaitu cara mengajar atau melatih anak
tunarungu berkomunikasi dengan isyarat atau ejaan jari. Bahasa manual atau
bahasa isyarat mempunyai unsur gesti atau gerakan tangan yang ditangkap melalui
penglihatan atau suatu bahasa yang menggunakan modalitas gesti-visual.
d. Ejaan
jari.
Ejaan jari adalah
penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan jari secara garis
besar dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu (1) ejaan jari dengan satu
tangan (onehanded), (2) ejaaan jari dengan kedua tangan (twohanded), dan (3)
ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan.
e. Komunikasi
total.
Komunikasi total merupakan upaya perbaikan dalam
mengajarkan komunikasi bagi anak tunarungu. Istilah komunikasi total pertama
hali dicetuskan oleh Holcomb (1968) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Denton
(1970) dalam Permanarian Somad dan Tatti Hernawati (1996). Komunikasi total
merupakan cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu modus atau semua cara
komunikasi yaitu penggunaan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran,
amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar dan menulis serta pemanfaatan sisa
pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan seseorang.
3)
Anak Tunadaksa
Layanan pendidikan yang spesifik bagi
anak tunadaksa adalah pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang
tepat diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan
kondisi otot dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya. Selain
itu dukungan untuk bina diri diperlukan terapi okupasi dan bermain. Menurut
Frieda Mangunsong, dkk (1998) layanan pendidikan bagi anak tunadaksa perlu
memperhatikan tiga hal, yaitu :
a. Pendekatan
multidisipliner dalam program rehabilitasi anak tunadaksa
Pendekatan multidisipliner merupakan layanan pendidikan
yang melibatkan berbagai ahli terkait secara terpadu dalam rangka
mengoptimalkan memampuan yang dimiliki oleh anak. Beberapa ahli terkait
memberikan layanan rehabilitasi adalah ahli medis (dokter), dokter tulang, dokter
syaraf, ahli pendidikan, psikolog, pekerja sosial, konselor, ahli fisioterapi,
ahli terapi okupasi, ahli pendidikan khusus. Dalam program rehabilitasi dikenal
empat stadium, yaitu pertama, stadium akut antara 0 – 6 sejak menderita. Pada
stadium ini merupakan stadium “survival”, berjuang untuk bertahan hidup. Kedua,
stadium sub acut: 6 – 12 minggu, merupakan stadium perawatan rutin, pemberian
fisioterapi dan terapi okupasi agar perkembangan otot dapat pulih dan tumbuh
walaupun minimal. Ketiga, stadium mandiri; pada stadium ini anak lebih
diarahkan untuk memperoleh keterampilan kerja untuk kehidupan mendatang.
Keempat, stadium “after care”; pada stadium ini anak dipersipkan kembali ke rumah atau ke sekolah untuk mengikuti
program pendidikan selanjutnya.
b. Program
pendidikan sekolah
Program pendidikan sekolah bagai mereka yang tidak
mengalami kelainan mental relatif sama dengan anak normal, hanya bina gerak
masih terus dikembangkan melalui fisioterapi dan terapi okupasi, utamanya untuk
perbaikan motoriknya. Orientasi pembelajaran juga lebih bersifat individu,
walaupun dapat juga secara klasikal. Bagi anak cerebral palcy, binagerak masih
terus diupayakan agar anak memperoleh perkembangan yang optimal.
c. Layanan
bimbingan dan konseling
Layanan bimbingan dan konseling diarahkan untuk
mengembangkan “self-respect” (menghargai diri sendiri). Sunarya Kartadinata,
(1998/1999) menyatakan bahwa anak tunadaksa perlu mengembangkan self-respect,
yaitu menghargai diri sendiri dengan cara menerima diri sesuai dengan apa adanya,
sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai seorang pribadi yang
berharga.
2.
Anak Berkelainan Mental Emosional
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan mental-emosional meliputi anak tunagrahita dan anak
tunalaras.
1) Anak
Tunagrahita
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak
tunagrahita lebih diarahkan pada pendekatan indivudual dan pendekatan
remidiatif. Pendekatan individual didasarkan pada asesment kemampuan anak untuk
mengembangkan sisa potensi yang ada dalam dirinya. Tujuan utama layanan
pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan kemampuan aktivitas
kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk mencapai itu perlu
pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan keterampilan vocational
terbatas sesuai dengan kemampuannnya.
Layanan pendidikan khusus bagi anak
tunagrahita meliputi latihan senso motorik, terapi bermain dan okupasi, dan
latihan mengurus diri sendiri. Pendekatan pembelajaran dilakukan secara
individual dan remidiatif. Perkembangan kemampuan anak berdasarkan tingkat
kemampuan kornitifnya. Anak yang ber IQ 55 – 70 berbeda dengan yang ber IQ 35 –
55. dalam sebaran IQ tersebut juga berbeda dalam layanan masing-masing.
2) Anak
Tunalaras
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak
tunalaras untuk pembelajaran akademik relatif sama dengan anak normal. Khusus
untuk kelainan perilakunya, pendekatan pendidikan bagi anak tunalaras
menggunakan pendekatan bimbingan dan konseling serta terapi. Penggunaan
pendekatan terapi sangat bergantung pada jenis dan tingkat problem perilaku
yang dimiliki oleh anak tunalaras. Selain
pendekatan terapi, dalam pembelajaran khusus untuk anak tunalaras adalah
binapribadi-sosial anak. Mata pelajaran ini diarahkan untuk membina perilaku
positif anak tunalaras dalam kaitannya dengan perilaku dirinya dan perilaku
dalam berhubungan dengan orang lain.
C.
MACAM-MACAM FASILITAS ANAK BEKEBUTUHAN KHUSUS
Illustrasi 1
Atik, anak tuna
netra, ia turun dari kendaraan unum terus berjalan memasuki halaman sekolah
dengan menggunakan tongkatnya. Sesekali ia berhenti untuk mengenali bagian
gapura dengan meraba di sisi gapura yang tertulis huruf braille tentang arah
mereka masuk. Ia masuk ke halaman sekolah secara hati-hati. Kebetulan di pojok
gedung ada tulisan braille yang menunjukkan arah ke ruang kelas mereka. Sisi
gedung dibuat tumpul agar tidak mencederai anak-anak. Akhirnya Atik sampai di
ruang kelas, dan ia duduk di kursi depan terus mengeluarkan reglet untuk
mempersiapkan diri mengikuti pelajaran hari itu. Sepuluh menit kemudian, pelajaran
dimulai.
Hari itu pelajaran
IPA tentang berbagai bentuk binatang. Guru menyiapkan speciment binatang dari
berbagai jenis dengan proporsi yang seimbang. Masing-masing speciment binatang
diminta untuk diraba dan diamati. Sesekali guru mencontohkan suara dari
binatang tersebut, dan karakteristik lain dari binatang yang sedang di bahas.
Anak-anak mencatat karakteristik tersebut dengan riglet dan kertas braillonnya.
1.
Fasilitas
pendidikan untuk anak tunanetra
a.
Huruf
Braille
Huruf Braille merupakan fasilitas utama penyelenggaraan
pendidikan bagi anak tunanetra. Huruf Braille ditemukan pertama kali oleh Louis
Braille. Ia menyusun tulisan yang terdiri dari enam titik dijajarkan vertikal
tiga tiga. Dengan menempatkan titik tersebut dalam berbagai posisi maka terbentuklah
seluruh abjad. Dengan menggunakan tulisan tersebut akan mempermudah para tuna
netra membaca dan menulis.
b.
Tongkat
putih
Tongkat putih merupakan fasilitas pendukung anak tunanetra
untuk orientasi dan mobilitas. Dengan tongkat putih anak tunanetra berjalan
untuk mengenali lingkungannya. Berbagai media alat bantu mobilitas dapat berupa
tongkat putih, anjing penuntun, kacamata elektronik, tongkat elektronik.
c.
Laser
cane (tongkat laser)
Tongkat laser adalah tongkat penuntun berjalan yang
menggunakan sinar infra merah untuk mendeteksi rintangan yang ada pada jalan
yang akan dilalui dengan memberi tanda lisan (suara).
2.
Fasilitas pendidikan untuk anak tunarungu
Fasilitas penunjang untuk pendidikan anak
tunarungu secara umum relatif sama dengan anak normal, seperti papan tulis,
buku, buku pelajaran, alat tulis, sarana bermain dan olahraga. Namun karena
anak tunarungu mempunyai hambatan dalam mendengar dan bicara, maka mereka
memerlukan alat bantu khusus. Alat bantu khusus tersebut antara lain menurut Permanarian
Somad dan Tati Hernawati, 1996 adalah hearing aids, audiovisual, tape
recorder, cermin.
a.
Hearing
Aids (alat bantu dengar)
Alat bantu dengar ada bermacam-macam, yaitu yang diselipkan
di belakang telinga, di dalam telinga, dipakai pada saku kemeja (pocket),
atau yang dipasang pada bingkai kaca mata. Dengan menggunakan alat bantu dengar
(hearing aids) anak tunarungu dapat berlatih mendengakan, baik secara
individual maupun secara kelompok. Anak tunarungu yang menggunakan alat bantu
dengar diharapkan mampu memilih suara-suara mana yang diperlukan, dan dengan
bantuan mimik dan gerak bibir dari guru (speech therapist), maka anak
tunarungu dapat berlatih menangkap arti dari apa yang diucapkan oleh guru atau
orang lain.
b.
Audiovisual
Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tapes,
TV. Penggunaan audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi anak tunarungu,
karena mereka dapat memperhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam
kemampuan mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan,
film ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan bahasa isyarat.
c.
Tape
Recorder
Tape recorder sangat berguna untuk mengontrol hasil
ucapan yang telah direkam, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan bahasa
lisan anak tunarungu dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun. Selain itu,
tape recorder sangat membantu anak tunarungu ringan dalam menyadarkan akan
kelainan bicaranya, sehingga guru artikulasi lebih mudah membimbing mereka
dalam memperbaiki kemampuan bicara mereka. Tape recorder dapat pula
digunakan untuk mengajar tunarungu yang belum bersekolah dalam mengenal
gelak-tawa, suara-suara hewan, perbedaan antara suara tangisan dengan suara
omelan, dan sebagainya.
d.
Cermin
Cermin dapat digunakan sebagai alat bantu anak tunarungu dalam
belajar mengucapkan sesuatu dengan artikulas yang benar. Di samping itu, anak
tunarungu dapat menyamakan ucapannya melalui cermin dengan apa yang diucapkan
oleh guru atau Artikulator (speech therapist). Dengan menggunakan
cermin, Artikulator dapat mengontrol gerakan-gerakan yang didak tepat dari anak
tunarungu, sehingga mereka menyadari dalam mengucapkan konsonan, vokal,
kata-kata, kalimat secara benar.
3.
Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita
Fasilitas pendidikan untuk anak
tunagrahita relatif sama dengan falilitas pendidikan untuk anak umum di sekolah
dasar dan fasilitas pendidikan di taman kanak-kanak. Fasilitas pendidikan lebih
diarahkan untuk latihan sensomotorik dan pembentukan motorik halus. Walaupun
demikian fasilitas yang berkaitan dengan pembinaan motorik kasar juga perlu
disediakan secara memadai. Secara garis besar fasilitas pendidikan yang harus
disesuaikan dengan karakteristik anak tunagrahita adalah:
a.
Fasilitas pendidikan yang bekaitan latihan
sensorimotor
Fasilitas
pendidikan dan penunjang pendidikan bagi anak tunagrahita yang berkaitan dengan
latihan sensomotorik di antaranya:
1. berkaitan
dengan visual: berbagai bentuk benda, manik-manik, warna, dsb.
2. berkaitan
dengan perabaan dan motorik tangan: manik-manik, benang, crayon, wash, lotion,
kertas amril, dsb.
3. berkaitan
dengan pembau: kamper, minyak kayu putih, dsb. berkaitan dengan koordinasi:
menara gelang, puzzle, meronce, dsb.
b.
Fasilitas pendidikan yang berkaitan dengan
aktivitas kehidupan keseharian
Fasilitas yang berkaitan dengan kehidupan
keseharian (Activity Daily Leaving) berupa permainan untuk mendukung aktivitas
kehidupan sehari-hari atau peralatan untuk latihan kehidupan sehari-hari, di
antaranya:
1) latihan
kebersihan dan gosok gigi
2) latihan
berpakaian, bersepatu
3) permainan
dengan boneka dan alat lainnya, dsb.
c.
Fasilitas pendidikan yang berkaitan dengan
latihan motorik kasar
Fasilitas yang berkaitan dengan latihan
motorik kasar di antaranya dapat berupa:
1) latihan
bola kecil
2) latihan bola besar
3) permainan
keseimbangan, dsb.
- Fasilitas pendidikan untuk anak tunadaksa
Fasilitas pendidikan untuk anak tunadaksa
berkaitan dengan prasarana dan sarana langsung yang diperlukan dalam layanan
pendidikan anak tunadaksa. Prasarana yang dirancang untuk anak tunadaksa
hendaknya memenuhi tiga kemudahan (Musjafak Assjari, 1995), yaitu mudah keluar
masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian. Sesuai
dengan ketentuan tersebut, bangunan seyogyanya menghindari model tangga, bila
terpaksa harus disediakan lief, lantai tidak banyak reliefnya, tidak banyak
lubang, lebar pintu harus sesuai, kamar mandi dan WC memungkinkan kursi roda
dan treepot bisa masuk, ada parallel bars, dinding kelas di
lengkapi dengan parallel bars, meja dan kursi anak disesuaikan dengan
kelainan anak. Fasilitas pendukung pendidikan yang berkaitan dengan diri anak
adalah:
1)
Brace
Brace merupakan alat bantu gerak
yang digunakan untuk memperkuat otot dan tulang. Brace biasanya
digunakan di kaki, punggung, atau di leher. Fungsi brace berguna untuk
menyangga beban yang tertumpu pada otot atau tulang. Brace terbuat dari kulit yang kaku atau
plastik yang tebal dilapisi kain atau sepon atau karet pada tepi dan
pinggirannya agar tidak terjadi decubitus (lecet) pada jaringan yang
kontak langsung.
2)
Crutch
(kruk)
Kruk adalah alat penyangga tubuh yang
ditumpukan pada tangan atau ketiak untuk menyangga beban tubuh. Kruk terbuat
dari kayu, pipa besi, pipa aluminium, atau pipa stainless steel yang
berbentuk bulat setinggi ukuran tubuh pemakainya. Pada bagian atas tempat yang
kontak dengan ketiak atau tangan diberi spon atau karet agar lunak dan tidak
menyebabkan lecet bila dipakai.
3)
Splint
Splint berasal dari bahasa
Inggris yang berarti spalk ( bahasa Belanda). Alat ini bertujuan untuk
meletakkan anggota tubuh pada posisi yang benar agar anggota tubuh yang sakit
tidak salah bentuk . Ada dua macam splint, yaitu splint untuk anggota tubuh
bagian atas (tangan) dan splint untuk anggota tubuh bagian bawah (kaki).
4)
Wheel
chair (kursi roda)
Menurut bentuknya, kursi roda dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kursi roda yang roda besarnya di depan, dan kursi
roda yang roda besarnya di belakang. Kursi roda yang roda besarnya di depan
dapat berputar di tempat yang sempit. Kursi roda yang roda besarnya di
belakang, dapat masuk kolong tempat tidur, sehingga memudahkan untuk berpindah
tempat. Selain fasilitas pendukung
tersebut di atas, fasilitas lain yang mendukung pendidikan untuk anak tunadaksa
adalah ruangan terapi dan peralatan terapi. Terapi yang berkaitan langsung
dengan anak tunadaksa adalah fisioterapi, terapi bermain, dan terapi okupasi.
- Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras
Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras
relatif sama dengan fasilitas pendidikan untuk anak normal pada umumnya.
Fasilitas ruangan kelas tidak menggunakan benda-benda kecil yang terbuat dari
bahan yang keras, sehingga mempermudah mereka untuk mengambil dan melemparnya.
Fasilitas lain lebih berkaitan dengan ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi
tersebut meliputi:
a)
Ruangan fisioterapi dan peralatannya
Peralatan fisioterapi lebih diarahkan
pada upaya peregangan otot dan sendi, dan pembentukan otot. Misalnya: barbel,
box tinju, wash
b)
Ruangan terapi bermain dan peralatannya
Peralatan terapi bermain lebih
diarahkan pada model terapi sublimasi dan latihan pengendalian diri. Misalnya
puzzle, boneka
c)
Ruangan terapi okupasi dan peralatannya
Peralatan terapi okupasi lebih
diarahkan pada pembentukan keterampilan kerja dan pengisian pengisian waktu
luang sesuai dengan kondisi anak.
BAB III
PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Prinsip dasar layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut yaitu Keseluruhan anak (all
the children), kenyataan (reality), program yang dinamis (a
dynamic program) , kesempatan yang sama (equality of opportunity), kerjasama
(cooperative), kasih sayang, keperagaan, kemampuan anak, pembiasaan, latihan, pengulangan, dan penguatan.
Secara umum, pendekatan layanan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ada dua, yaitu (1) pendekatan
kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki
kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Sedangkan
pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih
baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak.
Selain itu, jika berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, ada dua
pendekatan yang digunakan dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus,
yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan
remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai
kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau
kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial
didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai oleh anak.
Fasilitas pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus bergantung pada karakteristik masing-masing anak. Fasilitas
pendidikan bagi anak tunanetra adalah braille dan peralatan orientasi
mobilitas, serta media pelajaran yang menungkinkan anak untuk memanfaatan
fungsi perabaan dengan optimal. Fasilitas pendidikan bagi anak tunarungu
meliputi audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer,
audiovisual, tape recorde, spatel, cermin. Fasilitas pendidikan untuk anak
tunagrahita adalah latihan sensomotorik dan pembentukan motorik halus.
Fasilitas pendukung pendidikan untuk anak tunadaksa berkaitan dengan
aksesibilitas gedung dan ruangan dan fasilitas fisioterapi, terapi bermain, dan
terapi okupasi. Selain itu, bagi anak tunadaksa adalah fasilitas mobilisasi
meliputi kruk, splint, brace, dan kursi roda. Fasilitas pendukung pendidikan
bagi anak tunalaras lebih berkaitan dengan fasilitas terapi bermain, terapi
okupasi, dan fisioterapi.
3.2
SARAN
Dari uraian materi diatas sudah sangat jelas bahwa anak
berkebutuhan khusus itu beragam. Jadi sebagai seorang guru sebelum melakukan
suatu pendekatan terhadap peserta didik tersebut harus mengetahui terlebih
dahulu anak tersebut termasuk dalam anak kebutuhan khusus yang mana. Dengan
demikian, agar mempermudah dalam melakukan pendekatan sesuai dengan
kebutuhannya serta bisa mencapai tujuan yang diharapkan dari pendekatan-pendekatan
yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA :
Sunaryo Hartadiningrat, dkk. 1999. Bimbingan di Sekolah Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
0 komentar:
Posting Komentar